Keselarasan Antara Ajaran, Syariat dan Zaman
Apa yang dinyatakan dalam surat Al-A’raf ayat 36 yang berbunyi: “Tiap-tiap umat mempunyai batas waktu; maka apabila telah datang waktunya mereka tidak dapat mengundurkannya barang sesaatpun dan tidak dapat (pula) memajukannya.” adalah sebuah perkara yang telah terjadi berulang-ulang kali dalam sejarah peradaban manusia. Setiap umat memang telah digariskan mempunyai batasan waktu. Dan ini adalah perkara lumrah yang harus dapat kita terima dengan lapang dada dan pikiran yang terbuka.

Telah banyak tentu kita saksikan dalam sejarah peradaban manusia dimana satu peradaban hilang, tenggelam dan berlalu. Bukan saja peradaban umat-umat yang zalim dan jahat namun demikian juga dengan peradaban yang dibangun oleh para nabi. Ajaran para nabi memanglah bersifat abadi, akan tetapi peradabannya tentu saja tidaklah kekal. Dan ruh Islam memang dengan pasti akan selalu ada untuk selama-lamanya tapi tidaklah itu berarti peradaban Islam tidak akan berubah dan berganti.
Salah satu masalah besar yang dihadapi umat Islam hari ini adalah tidak sedikit umatnya yang memperlakukan agama Islam seperti barang mati. Mereka memperlakukan agama Islam seakan-akan patung batu yang statis, yang tidak akan berubah dan akan terus begitu selama-lamanya.
Padahal, layaknya manusia yang terdiri atas ruh yang kekal dan jasad yang fana, demikian juga dengan agama Islam itu sendiri. Jadi, meski ruh Islam memang akan terus ada buat selama-lamanya, akan tetapi kita harus lapang menerima bahwa pensyariatan Islam atau cara Islam diimplementasikan dalam kehidupan itu akan terus diperbaharui dari zaman ke zaman.
Ruh Islam atau yang juga kita kenal dengan sebutan sunnatullah atau fitrah Allah inilah bagian dari Islam yang harus kita kenali dan kita pegang buat selama-lamanya. Di sisi yang lain, pensyariatan Islam atau cara Islam diimplementasikan atau yang kita kenal juga dengan sebutan sunnah Rasul, haruslah dapat kita pahami merupakan sesuatu yang bersifat dinamis dan dapat terus disesuaikan agar tercapai singkronisasi dengan zaman. Tentang hal ini adalah lumrah adanya dan telah terjadi berkali-kali dalam peradaban panjang umat manusia.
Tidaklah mengheran tentunya bagi mereka yang mengerti bagaimana pensyariatan Islam yang dilakukan oleh para nabi dapat mempunyai perbedaan-perbedaan yang bahkan terkadang saling bertentangan satu sama lain. Padahal dapat dipastikan mereka semua membawa ajaran yang satu dan sama. Dengan pasti kita dapat mengerti hal itu terjadi lantaran sebab karakteristik manusia dan kondisi zaman di era masing-masing nabi dan rasul memang berbeda-beda adanya.
Untuk dapat terwujudnya Al-Islam; keadaan yang selamat, aman, damai dan sejahtera di tiap-tiap zaman yang berbeda, tentu saja mengharuskan pensyariatan yang berbeda-beda pula. Karena itulah implementasi Islam harus terus dimuktahirkan lantaran tewujudnya Al-Islam itu hanya mungkin terjadi bila mana implementasi ajaran Islam dapat kompatibel dengan keadaan zaman dimana ia berdiri.
Ketika nabi Muhammad datang menegakkan kembali Islam di tanah Arab 1400 tahun yang lalu, kita tahu bahwa di masa sebelum itu pun telah banyak nabi-nabi yang datang membawa Islam lengkap bersama dengan pensyariatannya. Namun meski begitu tetaplah juga harus dilakukan kembali pemuktahiran dari pada pensyariatan Islam tersebut lataran keharusannya untuk kompetibel dengan zamannya.
Dan bahkan telah diturunkan pula sebelum itu beberapa kitab yang diturunkan Allah untuk menjadi pedoman manusia. Kitab-kitab yang dibawa oleh para nabi sebelum Nabi Muhammad itu pun disebut Allah sebagai kitab yang memberi penjelasan yang sempurna sebagaimana dapat kita lihat keterangan itu dalam surat Al-Imran ayat 184 berikut: “Jika mereka mendustakan kamu, maka sesungguhnya rasul-rasul sebelum kamupun telah didustakan (pula), mereka membawa mukjizat-mukjizat yang nyata, Zabur dan kitab yang memberi penjelasan yang sempurna.”
Jadi dapatlah kita mengerti bahwa disebutnya Zabur dan kitab-kitab lainnya sebelum Al-Qur’an sebagai kitab yang memberi penjelasan yang sempurna adalah dalam konteks zamannya masing-masing. Yang dengan ini kita juga menjadi mengerti bahwa pada tiap-tiap zaman yang berbeda, memanglah dibutuhkan sebuah bentuk implementasi Al-Islam yang berbeda pula. Sehingga menjadi tidak aneh buat kita ketika mendapati pernyataan dalam QS. Al-Hajj ayat 67 yang berbunyi: “Bagi tiap-tiap umat telah Kami tetapkan syari'at tertentu yang mereka lakukan, maka janganlah sekali-kali mereka membantah kamu dalam urusan (syari'at) ini dan serulah kepada (agama) Tuhanmu. Sesungguhnya kamu benar-benar berada pada jalan yang lurus.”
Karena itu ketika pada masa nabi Muhammad dihadirkan kembali sebuah kitab yang baru, dan disusun kembali pensyariatan Islam yang baru, hal ini tidaklah berarti nabi Muhammad membatalkan ajaran para nabi sebelumnya. Sama sekali tidak! Apa yang dilakukan nabi Muhammad pada zamannya itu hanyalah menggenapi apa-apa yang pernah digenapi oleh para nabi sebelumnya. Perubahan dan perbedaan pensyariatan Islam yang dibangun nabi Muhammad dengan nabi-nabi sebelumnya hanyalah terjadi lantaran keharusannya untuk kompatibel dengan zaman tersebut. Karena hanya ketika kompatibilitas itu dapat tercapailah pensyariatan tersebut akan menjadi pensyariatan yang diridhoi Allah. Dan ketika itulah pernyataan sebagaimana tertera pada QS Al-Maidah ayat 3 berikut terjadi: “…Pada hari ini telah Ku-sempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu. Maka barang siapa terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
Dari dari apa yang dinyatakan dalam QS. Al-Maidah ayat 3 tersebut kita pun menjadi mengerti bahwa kesempurnaan pensyariatan dari pada Al-Islam pada masa itu tidaklah berarti itu buat selama-lamanya. Dan tidaklah pula proses penyempurnaannya itu menjadi harus terhenti sampai di situ saja. Ketika hadir suatu zaman yang baru; suatu zaman yang menghadirkan masyarakat yang berbeda dan dengan realitas serta tantangan yang berbeda, tentu saja kembali dibutuhkan sebuah upaya singkronisasi agar kompatibilitas pensyariatan tersebut dapat selalu terpenuhi. Sekali lagi harus kita benar-benar pahami dengan sebaik-baiknya bahwa meskipun ruh atau ajaran dari pada Al-Islam itu adalah sesuatu yang kekal, namun tidaklah demikian dengan pensyariatannya.