Inspirasi Film Kartini: Dialektika Dua Budaya
Pelajaran yang dipetik setiap orang dari sebuah film atau sebuah cerita tentu saja dapat berbeda-beda tergantung dari keadaan dan sudut pandang yang digunakan oleh orang tersebut. Nah, berkenaan dengan film Kartini (2017) garapan Hanung Bramantyo ini, saya lebih memberi perhatian tentang dialektika yang terjadi dari bertemunya dua budaya yang amat bertolak belakang. Budaya barat atau Belanda yang penuh kebebasan dan budaya timur atau Jawa yang penuh dengan kekangan.
Dapat kita katakan munculnya sosok Kartini yang sangat berpengaruh bagi perubahan budaya dan peradaban di tanah Nusantara sampai dengan hari ini, tidaklah lepas dari hadirnya budaya barat yang dibawa Belanda ke negeri ini pada waktu itu. Meski Kartini menentang penindasan yang Belanda lakukan atas negeri ini, namun dibalik itu Kartini juga mempunyai kekaguman akan budaya Belanda yang memberi kebebasan tanpa diskrimitatif laki-laki atau perumpuan untuk menyerap pengetahuan dan berkreasi seluas-luasnya.
Kartini, meski masa hidupnya dapat dikatakan tergolong singkat; lahir di tahun 1879 dan wafat di tahun 1904; namun masa hidupnya yang hanya 25 tahun ini telah membentuk dirinya menjadi sebuah maha karya peradaban yang menginpirasi banyak orang hingga ke zaman kita sekarang ini. Karakter yang terbentuk pada diri kartini adalah buah manis yang terbentuk dari asimilasi dua peradaban yang bertolak belakang. Kekaguman kita pada karakter kartini adalah lantaran dirinya merupakan sistesis yang menghapus pertentangan dan menjawab keraguan kita dalam memposisikan diri diantara dua budaya yang bertolak belakang tadi.
Kartini yang lahir di tengah-tengah dua budaya yang bertolak belakang itu, telahmampu mempadu-padankan dua budaya tersebut yang menjadikannya sebagai sosok perubahaan dan bahkan dapat kita sebut pembaharu kebudayaan. Terlahir dan hidup dalam keluarga nigrat dengan segala peraturannya yang mengekang itu, terlebih-lebih sebagai seorang perumpuan, tidak serta merta membuat Kartini menyerah begitu saja dengan tradisi-tradisi yang memenjarakan kebebasannya dan bertentangan dengan hati nuraninya.
Sejak kecil Kartini sudah memperlihatkan sifat kritisnya dan menunjukan perlawanan terhadap hal-hal yang tidak sejalan dengan hati nuraninya. Di masa kanak-kanak ketika Kartini tidak diizinkan tinggal dengan ibu kandungnya lantaran ibu kandungnya itu bukanlah istri utama karena bukan keturunan ningrat, Kartini menagis dan menunjukan kemarahan ala anak-anaknya atas keputusan itu. Begitu juga ketika Kartini memasuki usia akil baligh dan diharuskan menjalankan pingitan dikurung di dalam kamar sampai datangnya laki-laki untuk meminangnya, ia pun tidak menyerah begitu saja atas kekangan tradisi yang memenjarakan itu. Dia tetap saja diam-diam memuaskan kodrat keingintahuannya dengan membaca buku-buku yang dia dapat dari kakak lelakinya. Dan bahkan tidak jarang dia diam-diam meninggalkan kamarnya melihat dunia luar untuk dapat meluaskan cakrawala berpikirnya.
Hal yang membuat pancaran perjuangan Kartini untuk membebaskan dirinya dari kungkungan tradisi yang mendeskriditkan perumpuan ini dapat menembus zaman adalah lantaran perjuangannya itu tidak berhenti pada sebatas kepentingan dirinya saja. Kepedulian Kartini akan nasib bangsa dan kemanusiaan serta hasratnya yang kuat untuk mengangkat harkat martabat kaum perumpuan terlihat jelas dalam usaha-usaha yang dilakukan disepanjang kehidupannya. Menerbitkan tulisan-tulisan yang menggugah cara pandang orang kebanyakan, mendidik masyarakat di lingkungannya hingga cita-cita besarnya untuk mendirikan sekolah adalah penanda besarnya energi kemerdekaan di dalam dirinya.
Ada satu hal yang perlu juga kita garis bawahi dari kisah Kartini ini. Dimana kemarahannya atas tradisi Jawa yang memenjarakan dan kekagumannya terhadap budaya Belanda yang lebih memberi kebebasan kepada kaum perempuan hampir-hampir membuat Kartini melangkah terlalu jauh dan meninggalkan akar budayanya sendiri. Syukurlah ia memiliki orang tua yang cukup memahami dirinya dan tetap menjaganya agar memposisikan diri secara bijak dalam tarikan dua budaya yang bertolak belakang tersebut. Maka jadilah Kartini sintesis yang dalam kepribadiannya itu termuat dua budaya yang bertolak belakang tadi dalam takarannya yang tepat.
Ada sebuah dialog menarik dalam film Kartini yang disutradarai oleh Hanung Bramantyo ini. Dimana ketika Ngasirah (ibu kandung Katini) bertanya kepada Kartini: “Apa yang sudah kamu pelajari dalam aksara Londo?”. Kartini pun menjawab: “kebebasan bu”. Sang ibu pun kembali bertanya: “dan apa yang tidak ada dalam aksara Londo?” Kartini berpikir sejenak dan kemudian menjawab: “Ni tidak tahu bu”. Atas jawaban itu sang ibu berkata: “bakti”. Yang kemudian ia lanjutkan dengan menjelaskan keberadaan pangku dalam aksara Jawa yang membuat sebuah huruf menjadi mati jika mendapat sandangan pangkon atau dipangku. Inilah yang tidak ada dalam aksara Belanda. Dalam penjelasannya Ngasirah menjelaskan kepada Kartini bahwa setiap manusia akan merasa nyaman jika dipangku. Karena ia akan menemukan keseimbangannya. Dan inilah yang tidak dikenal oleh Belanda. Sehebat-hebatnya Belanda menguasai dunia mereka tidak akan mengenal pangku.
Dialog sang ibu dengan Kartini tersebut adalah salah satu contoh tindakan penyimbang atas sikap Kartini yang bisa saja berlebihan. Tuntunan yang disampaikan kepada Kartini tersebut dimaksudkan agar Kartini benar-benar dapat menempatkan diri dan membuat kesimpulan secara obyektif atas pertentangan yang hadir dalam dunianya. Jadi meskipun budaya Belanda memiliki kelebihan dalam satu hal, namun ia juga mempunyai kekurangan dalam hal lain dibandingkan dengan budaya Jawa. Budaya Belanda yang mengedepankan kebebasan dan memberi ruang yang besar bagi kaum perumpuan untuk menyerap pengetahuan dan mengekspresikan dirinya memang telah membawa Belanda menjadi bangsa yang lebih unggul. Namun demikian, dalam kebebasannya itu Belanda tidak mengenal bakti sebagaimana tersimbolkan dalam kematian huruf Jawa yang dipangku. Belanda hidup di dalam budaya transaksional yang didasarkan kepada pertimbangan untung rugi.
Falsafah yang tersirat dalam kematian huruf Jawa yang dipangku memang tidaklah mudah untuk dipahami. Ada dua makna berkaitan dengan itu. Nah berkaitan dengan wejangan sang ibu kepada Kartini dapat kita pahami sebagai berikut: manusia tidak bisa mencapai kebahagiaan dan kedamaian yang utuh hanya dengan terpenuhinya segala kebutuhan jasmaniahnya saja, tapi juga kebutuhan spiritualnya. Manusia yang dipangku itu adalah manusia yang menyerahkan dirinya kepada sesuatu yang lebih besar dan mulia. Itulah jalan bakti itu. Di jalan bakti itu, memang terdapat kematian, karena di dalam bakti kita telah menanggalkan ego dan kepentingan kita untuk sesuatu yang lebih besar. Di dalam bakti kita keluar dari pola transaksional yang penuh pertimbangan utung rugi secara matrerialistis. Di dalam bakti itu upah terbesar kita adalah kepuasan karena tahu bahwa kita telah memenuhi kodrat hidup kita sebagaimana mestinya. Inilah makna pangku yang menurut ibunda Kartini tidak akan dikenal oleh Londo itu.
Akhir kata, ada tiga point penting yang saya garis bawahi dari film Kartini ini. Yang pertama adalah pentingnya menjadi manusia yang berpikiran merdeka. Dimana kita harus senantiasa berpikiran terbuka dan haus akan ilmu pengetahuan, karena ilmu pengetahuan itu memerdekaan. Kita juga dituntut untuk mempunyai sifat kritis yang tepat terhadap berbagai hal. Kita tidak boleh menjadi pengikut buta satu tradisi tanpa kita sendiri memahaminya dengan baik. Point penting kedua yang saya garis bawahi adalah kesetaraan dalam kemanusiaan. Bahwa setiap orang, apakah dia laki-laki atau perumpuan dan apapun suku, bangsa dan agamanya, adalah setara dihadapan Tuhan dan melekat hak yang sama pada dirinya untuk memenuhi kodrat hidupnya sebagai manusia. Karena itu setiap manusia harus dihormati hak-haknya dan tidak boleh ada tindakan ekploitatif seorang manusia kepada manusia lainnya. Dan point penting ketiga yang saya garis bawahi adalah pentingnya bersikap bijak menghadapi dialektika kehidupan. Pertentangan dan perbedaan memanglah akan selalu saja ada dalam kehidupan ini. Kehidupan ini memang akan senantiasa mengangkat dirinya kepada peradaban yang lebih tinggi dan lebih tinggi. Kepada peradaban yang lebih humanis dan selaras dengan kodrat penciptaan manusia. Sikap bijaksana sangat diperlukan untuk dapat mengolah pertentangan yang timbul menjadi hal yang membawa ke tempat yang lebih tinggi itu. Tanpa kebijaksanaan pertentangan yang hadir malah justru hanya akan membawa kita pada keterpurukan.